SATU PERJALANAN PANJANG

Begitu indah dunia di luar sana, tiupan angin dengan santainya menggoyang-goyangkan rumput liar dan seolah-olah bernyanyi dengan riangnya. Tak bisa ku pungkiri alangkah bahagianya bila bisa menyentuh dan membelai daun-daun hijau itu dengan lembut. Melompat kesana kemari seiringan dengan nyanyian angin, berbaur dengan air hujan hingga membasahi tubuhku dengan kuyuk nya. Oh Tuhan apakah anganku terlalu tinggi ???. Dengan umurku yang sudah tidak muda lagi tapi kenapa aku masih termanggu disini dan sama sekali tidak mengerti dengan hidup, diam tak bergeming seolah-olah tanpa nyawa walaupun aku masih memiliki sepasang kaki yang kokoh, sepasnag sayap yang ku yakin masih bisa mengepak hingga ke awan. Kicauan indah dan mata yang tetap jernih masih ku miliki, namun sayang dengan semua itu aku tak mampu merasakan indahnya dunia. Ku hanya termanggu disini berhari hari berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun, selama itu tak sejengkal pun kaki ku mampu melangkah, tak sedikitpun sayapku mampu mengepak menempuh perjalanan panjang yang ku impikan.
Memang Tuhan masih sangat baik padaku, tak pernah sekalipun aku merasakan bagaimana itu kelaparan, tak sedikitpun aku mengenal kata kehausan, semua ada.  Kulampiaskan kekesalan hidupku dengan bernyanyi indah setiap hari, berkicau riang berharap kesepianku dapat terobati, namun itu hanya asa belaka. Sangkar ini mengukungku, menghalangiku, aaargggggghh brengsek kenapa dia mengurungku disini, tahunan semenjak aku hadir di dunia ini, Bapak tua berkumis itu tak pernah sekalipun membiarkan ku terbang bebas. Setiap pagi setiap sore dia slalu menyapaku dengan riang seolah-olah aku adalah badut liarnya yang mampu menghibur hati gundahnya. Aku benci amat sangat benci, sering aku meronta berusaha berontak setiap kali Bapak tua itu memberi aku makan dan minum, tapi apalah daya aku hanya seekor burung kecil yang tak memiliki tenaga seperti dia.
Aku tau sungguh aku tau Bapak tua itu menyayangi ku, tak pelak dia akan melempari kucing nakal yang mencoba-coba untuk menggodaiku dengan ngeongnya yang mengerikan dan cakarnya yang membuat mentalku ciut. Namun aku ingin bebas, aku ingin seperti mereka yang dapat terbang bebas melayang-layang diudara mengikuti perjalanan awan-awan putih dengan riangnya. Tidak seperti aku terkurung disini disangkar ini.
Siang ini panas sekali, telah berkali-kali aku berkicau berusaha memberi tahu si Bapak Tua agar dia memindahkan sangkar ku ketempat biasanya yang lebih teduh, oh tidak kemana dia, kemana Bapak tua itu, biasanya dia selalu peduli padaku, tak pernah sekalipun dia lupa dengan keadaan ku, tapi kenapa dengan hari ini, kemana dia, tak tahukan dia aku saat ini kepanasan ?.
Sepanjang siang dia membiarkan ku kepanasan, terpaksa tak ada yang bisa ku lakukan, sangkar ini sangat kokoh. Walaupun sudah bertahun-tahun menjadi istana penderitaan ku. Berharap setiap malam datang menyelubungi bumi menuai asa mengarungi dunia dalam suatu perjalanan panjang tak berujung, namun hatiku beku saat mendapati tubuhku masih terpaku tak bergeming terkurung dalam jeruji-jeruji besi kecil mengungkungku.
Tak adil itulah kata-kata yang slalu terngiang-ngiang dalam benak ku. Kenapa-kenapa Tuhan, kau jadi kan aku hidup, dengan nyawa tersembunyi dalam tubuh kecil berbulu cantik sekaligus suara merdu yang mampu berkicau indah. Mungkin aku akan lebih bahagia hidup sebagai burung gereja jelek yang dapat terbang bebas walaupun mesti terbang kesana kemari mencari makanannya, melompat ketakutan saat petani-petani sawah murka bila padinya dijadikan santapan.
Sekarang mana dia, mana Bapak Tua itu, semalaman dia membiarkan sangkar ku tergantung diluar dengan tiupan angin malam yang ganasnya mampu menusuk-nusuk tulangku tanpa ampun, dingin, lapar haus, semuanya bercampur membaur dengan kesepian ku. Kemana dia ?? kemana Bapak tua itu.
Apakah aku rindu dengan tawa riangnya saat menyapaku ataukah hanya butuh dengan makanan dan minuman darinya ????. Yes …. Dia datang …. Dia datang oh dunia Bapak tua itu datang, tapi ada apa dengannya, ada apa dengan wajahnya kenapa dia terlihat sangat pucat, kenapa jidatnya berkerut seperti itu, mana senyum riang dan tawa renyahnya saat menyapaku, kenapa dia hanya diam saja, kenapa tangannya bergetar saat menuangkan makanan berbiji-biji yang biasa aku santap itu. Aaah airnya tumpah membasahi lantai sangkar ku seolah-olah tangan renta itu sama sekali tak sanggup lagi mengangkat dan menopang dayung air untuk minumanku.
Tak tega aku untuk meronta dan berontak kesana kemari didalam sangakar ini seperti biasanya, aku kasian atau aku takut kalau sesuatu terjadi pada Bapak tua itu, siapa yang akan memperhatikan ku lagi, siapa yang akan memberi aku makan dan minum lagi, apakah nasib ku, nyawaku dan tubuh ku akan mati sia-sia terkurung dalam sangkar ini. Bagaimana dengan harapanku, bagaimana dengan impian ku untuk sebuah perjalanan panjang yang tak berujung.
Sudah 5 hari beralalu sejak terakhir kali Bapak tua itu memberi aku makan, sangkar ku tidak lagi dikeluarkan dari rumah mereka. Tak dapat lagi aku menikmati sepoi angin yang masih bermurah hati meniup-niup lembut kearah sangkar ku, tak ada lagi goyangan rumput liar yang dengan sukarela menari-nari menghibur gundah hatiku, atau kicauan burung geraja yang melompat kesana kemari seolah-olah mengejek ku yang terkurung tak berdaya didalam sangkar besi ini, sekarang yang setia memberi ku makan dan minum hanya Dira begitu gadis itu biasa dipanggil. Yah aku masih bersyukur ada dia walaupun Dira selalu terlambat mengantarkan makanan dan minuman kepadaku apakah dia lupa atau dia memang tidak bisa memperlakukan ku seperti Bapak tua itu, aku tak tahu, tapi ya sudahlah setidaknya aku masih bisa hidup.
Benar-benar rindu yang aku rasakan kepada Bapak tua itu, senyumnya tawanya, tangannya yang selalu membelai lembut bulu-bulu kecilku. Menyesalaku pernah membenci dia, rasa benci yang aku rasakan karna dia telah memenjarakan aku, mengurungku dalam sangkar besi yang kokoh ini. Benci yang aku rasakan karna dia telah menghalangi aku untuk terbang bebas menempuh suatu perjalanan panjang yang tak berujung.
Tapi kini tak ada lagi Bapak tua. Dua hari yang lalu aku mendengar teriakan pilu dan isak tangis memenuhi seisi rumah ini. Tak mengerti aku dengan apa yang terjadi disini, dengan Bapak tua itu, sampai seluruhnya menumpahkan air mata tersedu-sedu seolah-olah sesuatu yang sangat buruk telah terjadi, namun aku merasakan suatu perasaan sendu, sedih seperti akan kehilangan, apakah aku benar-benar akan kehilangannya ??? kehilangan Bapak tua itu yang slama ini memperhatikan ku, menyayangi ku, mengajak aku bercanda, membelai-belai lembut bulu ku, dan satu lagi Bapak tua itu yang slama ini aku benci, apakah aku akan kehilangan dia ????
Aku merasakan hembusan angin menerpa lembut di wajahku, segarnya udara hari ini begitu saja mampu melarutkan rasa duka yang menumpuk di dada ku slama ini. Ooh bahagianya aku dapat mengembangkan sayap melayang layang turun naik menukik naik setinggi tinggi seolah olah aku mampu menembus awan, menari-nari di atas gumpalan-gumpalan awan putih yang membentang luas di bawah langit biru.
Benarkah ini terjadi, benarkah aku yang sedang melayang ini, aah bahagianya. Tak ada satu kata pun dapat menerangkan betapa bahagianya hatiku saat ini. Oh lihat itu, itu bij-biji padi sawah yang menguning seprti berkilauan di terpa teriknya panas sang matahari. Seketika aku merasakan perutku berguncang-guncang kegirangan berharap akan mendapatkan beberapa untuk mengisinya.
Hmmmm nikmatnya, inilah syurga yang aku inginkan terbang bebas menaklukkan udara tinggi dan turun melompat-lompat sesekali untuk mencari sesuatu yang dapat mengisi perut, kemudian merasakan sejuknya air sungai yang mengalir deras sambil bernyanyi seirama dengan arus mengalirnya.
Oh tidak kenapa aku terguncang ??, ada apa ini ???, perlahan aku coba untuk membuka mata menajamkan penglihatan ku, menyatukan syaraf-syaraf otak ku dan mencoba untuk mengerti apa yang sedang terjadi sehingga aku merasakan goncangan sehebat itu. Nyaris saja aku terjatuh tersungkur menyium lantai jeruji-jeruji sangkar ku, kalau saja aku tidak secepatnya memperkuat cengkraman kaki ku tak diragukan lagi pasti patuk ku akan berciuman manis dengan lantai jeruji-jeruji besi itu.
Nghaaaah aku mimpi, brengsek ternyata kebebasan ku hanya mimpi. Tapi tunggu apa itu ???. bagaimana bisa kucing nakal itu menyeringai garang tepat didepan mata ku, dia mengangkat hampir separoh bibir atasnya hanya untuk memperlihatkan betapa runcingnya taring yang dia punya, menggapai-gapai tubuhku dengan cakar-cakar tajamnya itu, kenapa sangkar ku terletak di lantai dan kenapa aku sama sekali tidak menyadari pintu sangkar ku telah terbuka selbar itu. Tuhan nyawaku terancam, nyawa yang hanya satu-satunya aku miliki sebagai harapan akan impian ku terbang bebas di udara. Bayangan wajah Bapak tua terlintas jelas di benakku bagaimana marahnya dia pada kucing manapun yang coba-coba untuk menggodaku, tapi kini dia sudah pergi, dia tidak ada lagi disini untuk melindungi ku, aku rindu dia Bapak tua.
Tuhan apa yang harus aku lakukan meronta menerjang menghatam pun tak mampu untuk menghilangkan rasa takutku akan taring kucing itu akan tajamnya cakar-cakar kucing itu. Sorotan tajam mata nya seolah-olah mencedot seluruh darah ku hingga kepembuluh paling kecil sekalipun, gemetar jari-jari kakiku rasa tak mampu lagi untuk mengcengkram jeruji-jeruji sangkar besi ini. Aku ketakutan inilah rasa puncak dari semua ketakutan yang pernah aku rasakan, degub jantungku berdetak-detak keras dengan cepatnya sepertinya hendak menghancurkan tulang-tulang dadaku,
Aku akan mati, mati sia-sia tanpa sempat merasakan nyatanya terbang bebas menempuh suatu perjalanan panjang yang sangat aku impikan, tak tahan satu tetes air mata terjatuh dari sudut mataku seiringan dengan rasa sakit yang aku rasakan saat kuku-kuku tajam milik sikucing brengsek ini merobek kulitku sebelum taring-taring runcingnya menyentuh tubuh kecilku.
Rindu hati, 15/04/2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Tentang Aku

Nama Mu

Sebanyak yang kamu mau